25 March 2016

Rusa Berbulu Merah dan Masyarakat Kurang Baca

Sehari pasca pembubaran paksa oleh berbagai ormas seperti FPI, PUI, dan Laskar Fisabililah , akhirnya kemarin (24/3/2016) pentas monolog Tan Malaka berhasil digelar dengan aman. Acara yang diselenggarakan di IFI Bandung itu berlangsung di bawah penjagaan ketat aparat keamanan dan beberapa LSM yang mendukung acara seperti AMS, Jangkar, dan Pekat.

Gelaran yang sejatinya akan dipentaskan dalam dua hari berturut-turut, yaitu tanggal 23-24 Maret 2016, pukul 20.00 wib, akhirnya hanya digelar satu hari, namun tetap mementaskan dua kesempatan, yaitu pukul 16.00 dan 20.00 wib. 

Sedari siang, sekira pukul 14.00 suasana di sekitar IFI cukup tegang. Ratusan aparat keamanan yang berjaga dikagetkan oleh kira-kira 20 rombongan kendaraan bermotor yang melintas di Jl. Purnawarman (depan IFI) sambil menyalakan knalpot bising. Mereka kemudian masuk ke pelataran parkir BEC (Bandung Electronic Centre), dan sesaat berselang keluar lagi menuju jalan Jl. Purnawarman sambil terus menggeber gas yang menimbulkan suara knalpot bising. Polisi yang berjaga akhirnya menangkap dan membawa mereka ke kantor dengan truk. Motor yang mereka pakai dibawa serta oleh para petugas.

Monolog Tan Malaka yang sempat tertunda, semula akan dihadiri oleh Walikota Bandung Ridwan Kamil sebagai penjamin tidak akan dibubarkan lagi oleh ormas, namun sampai acara dimulai beliau tidak kunjung datang. Selama pementasan situasi di dalam dan di luar panggung relatif kondusif. Menurut Ahda Imran, penulis naskah, Ridwan Kamil memang rencananya mau hadir, namun karena terbentur banyak kesibukan, akhirnya pementasan berjalan tanpa menunggunya.

“Saya Rusa Berbulu Merah” yang menjadi tajuk monolog, sepanjang pementasan tidak menyisakan fragmen yang riskan dan rawan dengan isu bahaya laten komunis yang ditakutkan para penentang acara. Malah dalam satu kesempatan, Tan Malaka yang diperankan oleh aktor Joind Bayuwinanda menyebutkan bahwa dia menentang pendapat para kamerad komunis terkait Pan-Islamisme ketika berpidato pada Kongres Komunis Internasional ke-4 pada tanggal 22 November 1922.

Pan-Islamisme yang oleh para kamerad perlu untuk dilawan, menurut Tan Malaka malah sebaliknya. Tan beranggapan bahwa sebagai sebuah gerakan, Pan-Islamisme juga menentang imprealisme dan kolonialisme, malah dia juga mendadarkan hubungan kerjasama antara Sarekat Islam dan dan partainya di Nusantara.

Di luar itu, alur kisah dalam Monolog Tan Malaka menjelentrehkan riwayat dan nasib anak bangsa yang menjadi korban revolusi yang ia perjuangkan. Sosok Tan yang menghendaki kemerdekaan 100% dan enggan berunding dengan pihak Belanda yang ia anggap sebagai maling, membuatnya tersisih dari konstelasi politik di awal kemerdekaan.

Ketika proklamasi kemerdekan telah dibacakan, Tan sempat bertemu dengan para pemimpin republik yang lain, yang dalam pementasan Tan menyebutnya sebagai “para pesohor”, dan ia menentang rencana para pesohor yang langkah-langkah politiknya membuat republik yang masih bayi itu tidak memiliki kedaulatan ekonomi.     

Tan kalah. Suaranya tak didengar. Ia akhirnya memilih bergabung dengan para pemuda dan rakyat untuk menempuh perang gerilya. Tipu muslihat Belanda yang membonceng pasukan sekutu untuk kembali mengusai Indonesia, ia cium gelagatnya. Bergabungnya Tan dengan laskar dan para gerilyawan kemudian dianggap menggembosi kepemimpinan republik, akhirnya ia dimusuhi oleh kawan seperjuangannya. 

Meski pementasan molonog hanya berhenti di titik ketika Tan Malaka semakin menjauhi lingkaran para pemimpin republik, namun sejatinya Tan Malaka sendiri tewas ditembak oleh tentara dari sebuah republik yang ia citakan dan perjuangkan.

Dilihat dari sana, Monolog Tan Malala “Saya Rusa Berbulu Merah” sesungguhnya tak menyisakan sedikit pun ruang untuk dijadikan bahan kekhawatiran dan penolakan para ormas beratribut Islam. Alih-alih melahirkan kecemasan, pementasan ini malah kontekstual untuk dijadikan bahan perenungan dan evaluasi, tentang sejarah yang tidak bertabiat hitam-putih, juga tentang kedaulatan ekonomi yang hari-hari ini cukup rawan.

Dan di atas segalanya, Monolog Tan Malaka lengkap dengan insiden penolakan, menggambarkan satu kondisi tentang sebagian masyarakat yang kurang membaca dan melek sejarah, juga tentang Bandung sebagai sebuah kota dan Indonesia pada umumnya, yang masih ringkih menghadapi perbedaan dan belum sepenuhnya siap dengan watak demokrasi. [ ]           

No comments: